Darurat Pekerja Migran Ilegal, BP3MI Sulut Gandeng LPSK Perkuat Perlindungan Korban TPPO

MANADO,Narasindo.com – Fenomena meningkatnya pekerja migran ilegal asal Sulawesi Utara yang terjebak dalam praktik perdagangan orang menjadi perhatian serius Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Sulut.

Guna mencegah makin bertambahnya korban, BP3MI menggandeng Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Republik Indonesia untuk memperkuat layanan perlindungan bagi masyarakat, khususnya korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Menurut Kepala BP3MI Sulut, Syachrul Afriyadi, SKom, MAP, situasi di wilayah Sulut saat ini tergolong darurat. Minat masyarakat untuk bekerja secara ilegal di negara-negara seperti Kamboja, Vietnam, Myanmar, dan Laos meningkat, padahal Indonesia tidak memiliki kerja sama penempatan tenaga kerja resmi dengan negara-negara tersebut.

“Saat ini kondisi di Sulut sedang darurat, wabah sosial masyarakat senang kerja ke Kamboja. Untuk upaya memberantas pekerja ilegal dari Sulut, BP3MI Sulut secara rutin melakukan sosialisasi di berbagai elemen masyarakat termasuk belum lama ini silaturahmi ke Sinode GMIM. Kami memohon beri pemahaman ke jemaat soal bahayanya kerja ke luar negeri yang belum memiliki perjanjian kerja sama,” ujar Syachrul kepada wartawan di ruang kerjanya, Jumat (13/5).

Syachrul menambahkan, peluang kerja di luar negeri sebenarnya masih terbuka lebar. Tercatat ada lebih dari 1,7 juta lowongan kerja di berbagai negara yang telah memiliki hubungan resmi dengan Indonesia. Namun, ia mengimbau masyarakat untuk bijak dan memilih jalur yang legal.

“Berangkatlah ke negara yang memiliki perjanjian kerja sama dengan Indonesia. Kita bisa kolaborasi dengan LPSK, untuk ke depannya tentunya bagaimana kita melayani masyarakat terutama kasus perdagangan orang,” tambahnya.

Kerja sama dengan LPSK diyakini akan memperkuat sistem perlindungan bagi korban TPPO. Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua LPSK RI, Wawan Fahrudin, menyambut baik kolaborasi ini. Menurutnya, perlindungan korban harus melibatkan banyak pihak dan tidak bisa dijalankan secara terpisah.

“Kuncinya memang kolaborasi, hak warga bisa kerja di manapun tapi kalau sudah jadi korban kita upayakan memberi perlindungan,” ujar Fahrudin.

Meski demikian, Fahrudin mengakui bahwa hingga saat ini laporan dugaan TPPO di Sulawesi Utara masih terbilang rendah. Ia menduga hal itu terjadi karena keterbatasan akses masyarakat terhadap mekanisme pengaduan yang selama ini terpusat di Jakarta.

“Kita tidak bisa kerja sendiri-sendiri, harus bekerja sama. Kita berbagi peran dengan teman-teman BP3MI. Mereka didorong untuk bagaimana suatu proses penempatan prosedural sesuai dengan regulasi yang berlaku. Ketika ada korban tindak pidana perdagangan orang, kemudian kami bisa lakukan penanganan, LPSK bisa masuk di situ. Ini bisa jadi ketidakhadiran kami dirasakan masyarakat,” jelasnya, didampingi Sekretaris Jenderal LPSK, Sriyana.

Sebagai langkah konkret, LPSK akan segera membuka kantor penghubung di Sulawesi Utara untuk memudahkan masyarakat mendapatkan akses perlindungan.

Lokasi yang direncanakan berada di kawasan Megamas, Kota Manado.

“Kantornya sementara disiapkan, rencananya di Kawasan Megamas. Mohon doanya teman-teman. Ada prosesnya. Untuk lewat material akan kami lakukan asesmen, dilakukan pemeriksaan lebih mendalam soal masalah yang dilaporkan. Apabila memenuhi persyaratan kami lanjutkan perlindungan,” terang Fahrudin.

Dengan hadirnya kantor LPSK di Manado, diharapkan layanan perlindungan terhadap saksi dan korban perdagangan orang bisa lebih cepat, efektif, dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Sulut yang selama ini menjadi salah satu daerah pengirim pekerja migran terbesar di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *